Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menegaskan bahwa kehadiran polisi dalam aksi demonstrasi bukan untuk membungkam suara rakyat, melainkan untuk menjaga ketertiban dan melindungi hak seluruh warga negara. Pernyataan ini disampaikan dalam dialog publik bertema “Penyampaian Pendapat di Muka Umum: Hak dan Kewajiban, Tindakan Anarkistis Menjadi Tanggung Jawab Hukum”
JAKARTA, PERSADA KITA.ID – Di tengah meningkatnya tensi aksi unjuk rasa di berbagai daerah, Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Pol. Drs. Listyo Sigit Prabowo, M.Si., menegaskan komitmen Polri sebagai penjaga demokrasi, bukan penghalang suara rakyat.
Dalam dialog publik yang digelar di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Jakarta Selatan, Senin (29/9/2025), Kapolri menegaskan bahwa kehadiran aparat kepolisian dalam demonstrasi bertujuan menjaga keamanan, ketertiban, dan hak warga negara lain yang tidak terlibat dalam aksi.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kehadiran Polri bukan untuk membatasi, melainkan untuk menjamin agar kegiatan tersebut dapat dijalankan secara aman, tertib, dan tidak mengganggu hak warga negara lainnya,” tegas Kapolri dalam sambutan yang disampaikan melalui rekaman video.
Dialog yang dihadiri tokoh-tokoh kritis seperti akademisi Franz Magnis-Suseno, Rocky Gerung, Direktur Amnesty International Usman Hamid, anggota Kompolnas Mohammad Choriul Anam, serta para akademisi dan aktivis HAM ini menjadi panggung penting untuk memperjelas peran Polri dalam menjaga ruang demokrasi.
Kapolri mengakui bahwa tidak semua aksi unjuk rasa berlangsung damai. Ia menyebut adanya “penyusupan” oleh kelompok perusuh yang memanfaatkan momentum aksi untuk menciptakan kerusuhan.
“Beberapa kegiatan penyampaian pendapat tidak hanya diikuti oleh pengunjuk rasa, tetapi juga ditumpangi oleh perusuh,” ungkapnya.
Akibatnya, aksi yang awalnya damai berubah menjadi anarkis—memicu kerusakan fasilitas publik, termasuk gedung DPR dan markas kepolisian di berbagai daerah, serta menimbulkan korban jiwa dan trauma sosial.
Namun, Kapolri menegaskan bahwa Polri tidak serta-merta mengambil pendekatan represif. Ia menekankan penerapan pendekatan humanis, dialog, dan keadilan restoratif dalam menangani aksi demonstrasi.
“Kami mengedepankan pelayanan, komunikasi, dan pendekatan persuasif. Tujuannya bukan menindas, tapi memastikan semua pihak bisa menyuarakan pendapat tanpa merusak tatanan sosial,” jelasnya.
Polri juga telah memiliki Perkap No. 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian dan Protap No. 1 Tahun 2010 tentang Penanggulangan Anarkis sebagai pedoman operasional yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM).
Kapolri berharap forum dialog ini menjadi wadah strategis untuk merumuskan gagasan konstruktif demi mewujudkan Polri yang profesional, dekat dengan masyarakat, dan adaptif dalam menjaga stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas).
“Suara kritis rakyat adalah bagian dari check and balances. Polri hadir untuk melindungi, bukan menghambat,” tutupnya. JM