Di tengah percepatan transformasi ekonomi digital, KADIN Indonesia bersiap mengguncang sistem kebijakan nasional. Melalui revisi UU KADIN yang telah berusia 38 tahun, lembaga dunia usaha ini ingin naik kelas—dari sekadar mitra konsultatif menjadi mitra strategis pemerintah dengan legitimasi hukum kuat. Dan kini, langkah itu semakin dekat: rancangan revisi dan naskah akademik RUU KADIN siap diajukan ke DPR RI untuk masuk Prolegnas 2026.
Jakarta, PERSADA KITA.ID – Di tengah gejolak transformasi ekonomi digital dan ambisi Indonesia menjadi negara maju, Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia tak lagi ingin hanya jadi penonton. Melalui inisiatif revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang KADIN, lembaga dunia usaha ini bergerak cepat untuk mengukuhkan perannya sebagai mitra strategis pemerintah—bukan sekadar penasihat.

Langkah strategis ini dipimpin langsung oleh Bambang Soesatyo (Bamsoet), Anggota Komisi III DPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Koordinator Bidang Politik dan Keamanan KADIN Indonesia. Dalam rapat Tim Perumus RUU KADIN di Gedung KADIN Jakarta, Senin (29/9/2025), Bamsoet menegaskan bahwa revisi UU KADIN bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan mendesak.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Indonesia telah bergerak dari ekonomi berbasis komoditas menuju ekonomi berbasis teknologi. UU KADIN yang berusia 38 tahun sudah tidak relevan lagi,” tegas Bamsoet.
Menurutnya, revisi UU ini akan menjadi fondasi hukum bagi KADIN untuk berkontribusi langsung dalam arah pembangunan nasional—mulai dari Musrenbang, rapat kabinet ekonomi, hingga pembahasan di DPR. “Kami ingin KADIN duduk di meja yang sama dengan pemerintah, bukan di kursi penonton,” tambahnya.
Yang menarik, revisi ini mengusung tiga pilar utama:
- Penguatan status kelembagaan KADIN menjadi setara lembaga negara (meski tetap non-budgeter),
- Pengakuan resmi sebagai mitra strategis pemerintah dalam perumusan kebijakan ekonomi,
- Keterlibatan langsung KADIN dan asosiasi usaha dalam setiap tahap pengambilan keputusan kebijakan publik.
Tak hanya itu, revisi UU KADIN juga menjawab realitas baru: ekonomi digital Indonesia yang tumbuh pesat. Berdasarkan laporan e-Conomy SEA 2024, nilai transaksi bruto ekonomi digital nasional telah menembus puluhan miliar dolar AS—menjadikan Indonesia pemain terbesar di Asia Tenggara. Namun, lebih dari 60% PDB masih ditopang UMKM yang kerap kesulitan mengakses kebijakan strategis.
“Tanpa legitimasi hukum yang kuat, suara pelaku usaha—dari startup hingga pedagang kaki lima—akan terus terpinggirkan,” ujar Bamsoet.
Untuk mempercepat proses, KADIN kini tengah menyelesaikan rancangan revisi RUU KADIN sebagai inisiatif DPR RI, lengkap dengan naskah akademik, uji publik, dan koordinasi intensif dengan berbagai pemangku kepentingan. Targetnya jelas: masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2026.
Langkah ini juga mengacu pada praktik global. Di Jerman, jaringan Industrie- und Handelskammer (IHK) memiliki mandat formal dalam kebijakan ekonomi. Di Korea Selatan, Korea Chamber of Commerce and Industry (KCCI) terlibat langsung dalam rapat kabinet ekonomi. “Indonesia bisa belajar, tapi dengan adaptasi lokal,” pungkas Bamsoet.
Rapat tersebut dihadiri Ketua Umum KADIN Anindya Bakrie, Wakil Ketua Umum Erwin Aksa, politisi senior Azis Syamsuddin, Dave Laksono, Firman Soebagyo, Andi Rahmat, Taufan Rotorasiko, Saleh Husin, Rati Ning, serta ekonom Aviliani—menunjukkan dukungan lintas sektor terhadap agenda strategis ini.
Jika berhasil, revisi UU KADIN bisa menjadi tonggak sejarah baru dalam tata kelola ekonomi Indonesia: di mana suara dunia usaha tak lagi diabaikan, melainkan menjadi bagian integral dari arah kebijakan nasional. JM