“Industri manufaktur Indonesia memiliki struktur yang kuat dari hulu hingga hilir, sehingga mampu meningkatkan nilai tambah dan memberikan kontribusi signifikan bagi perekonomian,”
PERSADA KITA.ID | Jakarta – Indonesia berhasil mencatatkan diri sebagai salah satu kontributor utama nilai manufaktur global dengan menduduki peringkat ke-12 dunia dalam Manufacturing Countries by Value Added (MVA) pada 2023. Pencapaian ini menempatkan Indonesia di atas negara-negara ASEAN lainnya dan setara dengan sejumlah negara maju seperti Inggris, Rusia, dan Prancis.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyatakan, nilai MVA Indonesia mencapai USD255,96 miliar pada 2023, melampaui Thailand (USD128 miliar) dan Vietnam (USD102 miliar) yang masing-masing berada di posisi ke-22 dan ke-24.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Industri manufaktur Indonesia memiliki struktur yang kuat dari hulu hingga hilir, sehingga mampu meningkatkan nilai tambah dan memberikan kontribusi signifikan bagi perekonomian,” ujar Menperin dalam keterangan resmi di Jakarta, Minggu (4/5/2025).
Data Bank Dunia menunjukkan, MVA Indonesia tahun 2023 tumbuh 36,4% dibandingkan tahun sebelumnya (USD241,87 miliar). Angka ini merupakan rekor tertinggi sepanjang sejarah dan mencerminkan peran strategis sektor industri pengolahan dalam perekonomian nasional.
“MVA mencerminkan kontribusi industri manufaktur terhadap ekonomi suatu negara. Capaian ini menunjukkan bahwa Indonesia semakin kompetitif di kancah global,” jelas Agus.
Secara historis, rata-rata MVA Indonesia dari 1983 hingga 2023 adalah USD102,85 miliar, dengan puncak tertinggi di 2023 (USD255,96 miliar). Angka ini jauh di atas rata-rata global sebesar USD78,73 miliar.
Menperin menilai keberhasilan ini merupakan buah dari kebijakan industrialisasi berbasis hilirisasi sumber daya alam, peningkatan daya saing, serta adopsi teknologi dan inovasi. “Kami konsisten melindungi industri dalam negeri dari banjir produk impor, sehingga MVA Indonesia bisa meningkat signifikan,” tegasnya.
Sektor manufaktur berkontribusi 18,67% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), menjadikannya penyumbang terbesar dibanding sektor lainnya. Pencapaian ini juga menegaskan perannya sebagai penggerak utama pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan ekspor.
“Indonesia memiliki potensi besar untuk memperluas pasar global melalui ekspor produk bernilai tambah tinggi, seperti makanan-minuman, tekstil, logam, otomotif, dan elektronik,” ujar Agus.
Strategi Making Indonesia 4.0, penguatan struktur industri, serta insentif bagi industri berorientasi ekspor dan substitusi impor menjadi kunci keberhasilan ini. Pemerintah juga terus memperkuat kemitraan internasional, adopsi teknologi industri 4.0, dan pengembangan industri hijau untuk mendukung transisi ekonomi rendah karbon. (Km-rin)