Oleh: Adhi Yaksa Pratama –
Pengamat Sosial & Kebijakan Publik,
Pemimpin Redaksi Adiwarta.com,
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Kandidat Ketua Pengda JMSI Sultra
Di tengah hiruk-pikuk perayaan ulang tahun institusi yang biasanya diisi dengan potong tumpeng, sambutan pejabat, dan foto-foto seremonial, RSUD Konawe memilih jalan yang berbeda. Di usianya yang ke-37, rumah sakit ini tidak merayakan dengan gegap gempita, tapi dengan diam-diam memberi.
Ya, bukan pesta, tapi berbagi.
Dalam sebuah aksi yang sederhana namun sarat makna, RSUD Konawe menyalurkan 85 paket sembako kepada pasien kurang mampu dan peserta Jamkesda di Unaaha. Gerakan ini, yang diberi tajuk “RSUD Konawe Berbagi Kasih kepada Masyarakat”, mungkin terlihat kecil di mata birokrasi. Tapi bagi mereka yang menerimanya, ini adalah napas kehidupan.
Bayangkan, seorang ibu bernama Nur (40), yang sedang berjuang melawan penyakit, juga harus berhadapan dengan perut kosong di rumah. Anak-anaknya menunggu, nasi belum dimasak, minyak hampir habis. Di tengah beban itu, datang seorang dokter, bukan hanya membawa resep obat, tapi juga karung beras, minyak, gula, dan telur.
Itu bukan hanya bantuan. Itu pengakuan. Bahwa dia tidak sendiri. Bahwa negara, melalui rumah sakitnya, masih peduli.
Rumah Sakit yang “Manusia”
Kita sering lupa bahwa rumah sakit bukan hanya tempat menyembuhkan tubuh. Ia juga harus menjadi tempat yang menyembuhkan harga diri. Banyak pasien miskin datang ke rumah sakit bukan hanya karena sakit, tapi karena tertekan, malu, dan putus asa. Mereka datang dengan kantong kosong dan hati yang lebih kosong.
Di sinilah RSUD Konawe menunjukkan wajah kemanusiaan yang seharusnya dimiliki oleh setiap institusi pelayanan publik. Dengan bantuan sembako, mereka tidak hanya mengurangi beban ekonomi, tapi juga mengembalikan rasa dihargai.
Direktur RSUD Konawe, dr. Romi Akbar, berkata, “RSUD bukan hanya tempat berobat, tapi juga rumah bagi masyarakat.”
Kalimat itu sederhana. Tapi dalam konteks pelayanan kesehatan di daerah, itu adalah revolusi mental.
Konawe Bersahaja, Bukan Sekadar Slogan
Aksi ini juga menjadi bukti bahwa visi “Konawe Bersahaja” — yang digaungkan Bupati Yusran Akbar dan Wakil Bupati Syamsul Ibrahim — bukan sekadar jargon kampanye. Ini adalah komitmen nyata untuk membangun daerah yang tidak hanya berdaya saing, tapi juga berhati.
Ketika rumah sakit daerah bisa menjadi agen perubahan sosial, maka kesehatan dan kesejahteraan bukan lagi dua hal yang terpisah. Mereka menyatu. Karena bagaimana mungkin seseorang sembuh dari penyakit, jika perutnya tidak pernah kenyang?
Dari Konawe, Pelajaran untuk Seluruh Indonesia
RSUD Konawe mungkin bukan rumah sakit terbesar. Tidak memiliki alat-alat canggih seperti rumah sakit di ibu kota. Tapi dalam hal empati, ia bisa jadi yang terdepan.
Apa yang mereka lakukan seharusnya menjadi pola baku bagi rumah sakit daerah di seluruh Indonesia. Setiap HUT rumah sakit, bukan hanya dievaluasi dari sisi infrastruktur, tapi juga dari dampak sosialnya terhadap masyarakat.
Bayangkan jika setiap RSUD di 500+ kabupaten di Indonesia melakukan hal serupa:
100 paket sembako x 500 kabupaten = 50.000 keluarga terbantu
Bukan angka kecil. Ini adalah jaring pengaman sosial yang nyata.
Kesehatan yang Adil Dimulai dari Rasa Peduli
Kita butuh lebih dari sekadar kebijakan untuk memperbaiki sistem kesehatan. Kita butuh hati.
RSUD Konawe mengajarkan satu hal penting, bahwa pelayanan publik yang baik bukan diukur dari kemegahan gedung atau jumlah dokter spesialis, tapi dari seberapa dalam ia merasakan penderitaan rakyat.
Di tengah krisis ekonomi, inflasi pangan, dan kesenjangan yang makin lebar, aksi seperti ini adalah sinar kecil yang membakar keputusasaan.
Semoga, bukan hanya RSUD Konawe yang berbagi kasih.
Semoga, seluruh negeri mulai belajar:
Bahwa kesehatan yang sejati, dimulai dari rasa peduli.
“Bukan hanya obat yang dibutuhkan pasien miskin. Tapi juga beras, minyak, dan harapan.”